Orang Yogyakarta mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Pangeran Mangkubumi. Ya, sosok pahlawan nasional satu ini merupakan ikon yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Yogyakarta. Sebab, beliau-lah pendiri dari kota yang dijuluki kota Gudeg tersebut yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Berikut sekelumit biografi tokoh Indonesia ini.
Sri Sultan Hamengku Buwono I terlahir pada 6 Agustus 1717 dengan nama asli Raden Mas Sujana. Dia putra pasangan Amangkurat IV, raja dari Kasunanan Kartasura, dan Mas Ayu Tejawati. Baik Amangkurat IV dan Mas Ayu Tejawati berasal dari trah Brawijaya V.
Sejak dari kecil, Raden Mas Sujana senang dengan kegiatan yang mengandalkan fisik di masanya, seperti berkuda, keahlian memainkan beragam senjata, dan keprajuritan. Keterampilan dan keahliannya ini kelak membuat Susuhunan Pakubuwono II mengangkatnya sebagai pangeran lurah (seseorang yang dituakan) di antara anak-anak raja lainnya. Setelah dewasa, Raden Mas Sujana mendapat gelar Pangeran Mangkubumi.
Konflik Antara Pangeran Mangkubumi dengan Pakubuwono II
Pada 1740, terjadilah sebuah perlawanan orang-orang Cina di Batavia. Perlawanan ini kemudian menyebar hingga seluruh Jawa. Di awal-awal pemberontakan, Pakubuwono II (kakak dari Pangeran Mangkubumi) ikut memberi dukungan pemberontakan tersebut. Tapi, sewaktu melihat Belanda (dalam hal ini VOC) unggul, Pakubuwono II kemudian berubah pikirannya.
Sekitaran tahun 1742, istana Kartasura diserbu oleh orang-orang Cina yang notabene dicap sebagai pemberontak. Hal ini membuat Pakubuwono II terpaksa memindahkan ibukota kerajaan ke Surakarta. Sementara, pemberontakan tersebut berhasil dibumi hanguskan oleh VOC dibantu Cakraningrat IV dari Madura.
Pun begitu, sisa-sia pemberontak yang berada di bawah pimpinan Raden Mas Said (Keponakan Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi) berhasil menguasai Sukawati. Selayaknya aturan di masa itu, Pakubuwono II lantas membuat sayembara "barang siapa bisa merebut Sukawati kembali akan diimbali tanah seluas 3.000 cacah. Pada 1746, Raden Mas Said dan pasukan berhasil dikocar-kacirkan oleh Mangkubumi. Sebagaimana perjanjiannya, Mangkubumi meminta haknya atas tanah seluas 3.000 cacah tersebut.
Namun, Patih Pringgalaya menghasut Pakubuwono II untuk membatalkan janjinya. Kondisi ini makin diperkeruh oleh kedatangan Baron van Imhoff (Gubernur Jenderal VOC kala itu) yang mendesak Pakubuwono II untuk mengizinkannya menyewa kawasan pesisir kepada VOC dengan harga 20 ribu real sebagai bentuk pelunasan hutang Keraton terhadap Belanda.
Mangkubumi tidak setuju dengan hal ini. Akibatnya mereka pun berseteru. Puncaknya, terjadi kala Baron van Imhoff menghina Pangeran Mangkubumi di muka umum. Jelas, hal tersebut telah mencoreng mukanya. Atas rasa sakit yang dialaminya, dia menggabungkan diri bersama pasukan Raden Mas Said. Balasannya, Pangeran Mangkubumi menikahkan Raden Mas Said dengan putrinya yang bernama Rara Inten (Gusti Ratu Bendoro).
Selang setahun berikutnya, tepatnya pada 1947, pecahlah perang saudara antara kubu Pakubuwono II yang didukung Belanda dengan kubu Pangeran Mangkubumi bersama Raden Mas Said. Dalam catatan sejarah Indonesia, perang ini dikenal sebagai Perang Suksesi Jawa III. Diperkirakan Pangeran Mangkubumi memiliki kekuatan mencapai 13 ribu pasukan.
Saat pecah perang saudara ini, Pakubuwono II meninggal dunia karena sakit yang sejak lama dideritanya. Sebelum mangkat, beliau menyerahkan kedaulatan kerajaannya secara penuh kepada VOC untuk melindungi Surakarta. Hal ini terjadi tepatnya tanggal 11 Desember. Pihak VOC kemudian mengangkat Pakubuwono III sebagai raja bonekanya. Sementara itu, Mangkubumi juga sudah menobatkan dirinya sebagai raja bergelar Pakubuwono III tanggal 12 Desembernya.
Berdirinya Kasultanan Yogyakarta
Pada 1752, Mangkubumi berselisih dengan Raden Mas Said. Sehingga, keduanya kemudian jalan sendiri-sendiri. Mangkubumi sendiri kemudian mencari VOC untuk diajak bersatu melawan Raden Mas Said, yang lantas diterima tanggal 1754. Di sinilah, terjadi kesepakatan antara Mangkubumi dengan pihak VOC yang diwakilkan oleh Nicolaas Hartingh. Dalam kesepakatan itu disepakati jika VOC membantu Mangkubumi menumpas Raden Mas Said, Mangkubumi akan mendapatkan setengah dari wilayah kerajaan Pakubuwono III. Sementara daerah pesisir akan dikuasai VOC dengan harga 20 ribu real - dibagi dua antara Mangkubumi dengan Pakubuwono III masing-masing mendapat 10 ribu real. Pada 13 Februari 1755, ditandatanganilah perjanjian Giyanti yang membagi wilayah kerajaan Pakubuwono III menjadi dua.
Sejak kesepakatan itu, Yogyakarta menjadi sebuah kerajaan sendiri yang berdaulat. Di mana, Pangeran Mangkubumi didaulat menjadi raja yang bergelar
Sri Sultan Hamengku Buwono I. Beliau-lah yang kemudian meletakkan dasar-dasar pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta. Di samping itu, sisi jiwa seni beliau dituangkan ke dalam beberapa bangunan-bangunan bersejarah, seperti Taman Sari dan Keraton. Sekarang bangunan-bangunan ini sudah menjadi tempat wisata di Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono I dianggap sebagai raja terbesar dari trah Mataram pasca Sultan Agung. Beliau wafat pada usia 75 tahun, tepatnya pada 24 Maret 1792.
Pangeran Mangkubumi merupakan sosok pemimpin ahli strategi yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Untuk menghargai jasa-jasanya, maka Pemerintah Indonesia melalui Kepres No. 85/TK/2006 tertanggal 3 November 2006 menganugerahinya gelar pahlawan nasional Indonesia.
Referensi
I. Buku
Mirnawati,
Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap, Jakarta: Cerdas Interaktif, 2013.
II. Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_I
http://365ceritarakyatindonesia.blogspot.com/2014/02/pangeran-mangkubumi-pahlawan-nasional-indonesia-ahli-strategi-perang.html